Powered By Blogger

Senin, 31 Maret 2014

Nasionalisme! Kebangsaan!

Alex Iskandar

Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham "bangsa" itu. Bangsa itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan tubuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan 'bangsa' itu.

Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal 'bangsa' itu. "Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu", begitulah katanya.

Nasionalisme itu ialah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa!
Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan diatas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri didalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Budi Utomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar, rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia-Besar atau Indonesia Merdeka adanya.

Apakah rasa nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), apakah nasionalisme itu dalam perjuangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras, apakah nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat diri dengan Marxisme yang internasional, interrasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa!
Sebab, walaupun nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai keinginan hidup menjadi satu dengan rakyat itu. Walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa satu golongan satu bangsa dengan rakyat itu. walaupun kebangsaan itu dalam asasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak dari persatuan hal ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu. Maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai 'keinginan hidup menjadi satu', bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa 'satu golongan, satu bangsa'. Bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada 'persatuan hal ihwal', beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa 'persatuan hal ihwal', persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa 'segolongan' itu. Betul rasa golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; Betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh diantara pihak-pihak pergerakan di Indonesia kita ini, akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!

Alex Iskandar


Inilah asas-asas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.
Partai Budi Utomo, "marhum" National Indische Partij yang kini masih "hidup", Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain. Itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu roh yang besar, roh persatuan? Roh persatuan, yang membawa kita ke lapang ke besaran?

Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?
Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?

Akan hasilkah usaha kita merapatkan Budi Utomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radikal-militan terjangnya? Budi Utomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Carthill, bahwa yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali?


Senin, 13 Januari 2014

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME

Sebagai Aria Bima Putra, yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka INDONESIA MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. tak sengan dengan nasib ekonominya, tak senang dengan nasib politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman "senang dengan apa adanya", sudah berlalu.
Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca.

Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa "Siapa yang ada dibawah, harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup", kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakya yang mempertuankannya itu, adalah sebagai "voogd" yang kelak kemudian hari akan "ontvoogden" mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai saudara tua, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah dewasa, akil balig, atau masak.

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.

"Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir, selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropa mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin "ontvoogding"-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.!

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropa itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropa baratlah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragisnya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! dan keinsyafan akan tragis inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu, sebab, walau lahirnya sudah kalah dan takluk, maka spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragis inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita. yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS DAN MARXISTIS-lah adanya.

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteru satu sama lain, membuktikan pula, bahwa tiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi kita tidak boleh putus-putus berdaya upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita kearah terkabulkan impian kita: Indonesia merdeka.!

Entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah pula bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu, ialah kapal persatuan adanya.! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan kapal persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mestilah datang saatnya, yang Sang Mahatma itu berdiri ditengah kita!

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.



Di Bawah Bendera Revolusi

Sepatah Kata


Sepatah Kata

Saya mendapat warisan dari kakek buyut saya sebuah buku lawas yang berjudul DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, buah pena Bung Karno setebal 600-an halaman. Buku tersebut masih dalam ejaan lama dan saya akan usahakan untuk menulis dalam ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Karena buku tersebut sudah mulai sedikit rusak dan tidak terurus, maka saya berniat untuk menuliskan buku tersebut ke blog saya. Semoga bisa dipetik manfaatnya. Semoga dengan sedikit usaha ini, bisa sedikit membangun kembali semangat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Yang mungkin dalam tulisan Bung Karno ini tidak sepenuhnya saya sependapat, tapi mengingat kata orang Arab, bahwa hikmah itu adalah barang yang hilang dari orang mukmin, maka dimanapun mendapatkannya maka ambillah.
Selamat membaca....(Alex Iskandar)


Semenjak 40 tahun yang lampau, waktu itu Bung Karno masih belajar di Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya, beliau sudah mulai gemar mengarang. Kegemaran itu bertambah lagi semasa beliau menjadi mahasiswa Technische Hogeschool (THS) di Bandung. Kemudian datanglah zaman yang dalam sejarah kehidupan Bung Karno dapat dianggap masa pencurahan pikiran dalam karang mengarang, yaitu semasa Bung Karno bersama-sama dengan kawan-kawan sefaham beliau, mendirikan dan menggerakkan partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Indonesia (Partindo) serta semasa beliau diasingkan ke Endeh dan akhirnya ke Bengkulen.

Suatu kenyataan sekarang ialah bahwa Bung Karno sendiri sama sekali tidak lagi menyimpan karangan-karangan tersebut. berberapa karangan yang telah dapat dikumpulkan semasa bung Karno mulai menjalankan hukuman pembuangan, terpaksa ditinggalkan dan kemudian hilang tidak berketentuan karena tempat beliau yang sering berpindah-pindah. Demikian pula sahabat-sahabat karib beliau serta perpustakaan-perpustakaan umum, tidak banyak yang menyimpan karangan-karangan Bung Karno.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, oleh perseorangan, pernah sebagian dari karangan-karangan tersebut diterbitkan dalam bentuk brosur. Karena mengingat bahwa buah pikiran Bung Karno baik yang berbentuk sebagai karangan maupun yang berupa pidato-pidato dari semenjak zaman penjajahan hingga pada saat ini, belum pernah diterbitkan dalam bentuk yang teratur, sedangkan keinginan untuk itu oleh sahabat-sahabat karib Bung Karno serta oleh khalayak ramai berkali-kali diajukan kepada beliau, maka kami mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugas tersebut. Semenjak lima tahun yang lampau, kami telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menunaikan kewajiban tersebut sebaik-baiknya.

Dalam melaksanakan tugas tersebut ternyata, bahwa tidak sedikit kesukaran yang harus kami hadapi. Pada zaman penjajahan, untuk menyimpan karangan-karangan para pemimpin pergerakan, terutama buah pena Bung Karno, diperlukan keberanian bagi para penyimpannya. Lagi pula, karangan-karangan Bung Karno tersebut tidak pernah berada dalam satu tangan. Berdasarkan itulah, maka usaha pengumpulan ini tidak seluruhnya dapat berhasil baik dan sempurna.

Selama lima tahun terus menerus telah dilakukan hubungan dan surat menyurat dengan alamat-alamat di dalam dan diluar negeri dengan pengharapan agar supaya usaha pengumpulan buah pikiran Bung Karno dapat lebih diperlengkap . Walaupun mereka yang dihubungi selalu menunjukkan kesediaan untuk memberi bantuan sebanyak mungkin, namun hingga saat ini, belum juga diperoleh hasil untuk mengumpulkan buah Pena Bung Karno yang ditulis antara tahun 1917 hingga tahun 1925. Bahkan karangan-karangan dalam tahun-tahun berikutnyapun masih ada beberapa yang belum terkumpul.Ini berarti bahwa kumpulan buah pikiran Bung Karno yang oleh beliau diberi nama : "DIBAWAH BENDERA REVOLUSI", belumlah merupakan kumpulan yang lengkap dan sesempurna-sempurnanya.

Akan tetapi dengan pertimbangan bahwa untuk menanti sampai terkumpulnya seluruh buah pikiran Bung Karno, masih memerlukan waktu yang lama, maka sebagai langkah pertama, buku : "DIBAWAH BENDERA REVOLUSI" ini (terdiri dari dua jilid), kami persembahkan kepada masyarakat Indonesia, dengan pengertian.kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam buku ini mudah-mudahan dapat disempurnakan dalam penerbitan lainnya. Patut dijelaskan bahwa Bung Karno tidak mempunyai kesempatan penuh untuk membaca kembali seluruhnya karangan-karangan beliau yang dimuat dalam buku ini.

akhirulkalam, kepada semua pihak, baik di dalam maupun diluar negeri serta handai taulan yang hingga pada saat terbitnya buku ini dengan ikhlas telah memberikan sumbangan dan bantuan, dengan ini kami sampaikan ucapan banyak terima kasih, karena dengan tiada bantuan itu maka penerbitan "DIBAWAH BENDERA REVOLUSI" tidaklah mungkin selengkap seperti sekarang ini.


Jakarta, 17 Agustus 1959

                                                                                                                 Panitia:
                                                                                                                 K. Gunadi
                                                                                                                 H. Muallif Nasution